Self Assesment System (SAS) merupakan sistem pemungutan pajak yang dianut di Indonesia. Sebelumnya, kita mengenal Office Assesment System dan with holding system. Yang terakhir ini, sampai sekarang juga masih digunakan. Berikut penjelasan masing-masing:
1. Office Assesment System
Dengan system ini, aparat pajaklah (fiskus) yang berhak menetapkan jumlah pajak yang harus dibayar (terutang) oleh Wajib Pajak (WP). Sehingga, kedudukan fiskus sangat powerfull. Kelemahan utama system ini adalah dibutuhkannya waktu yang sangat lama, untuk menetapkanjumlah pajak yang terutang, karena semua harus dihitung dulu oleh Fiskus. Selain itu, dengan kedudukan fiskus yang sangat powerfull, tidaklah mengherankan ketika masih menggunakan sistem ini, aroma KKN begitu kental. Sistem ini sudah tidak popular dan tidak digunakan lagi dibanyak negera, termasuk Indonesia
2. With Holding System
Dengan sistem ini, Negara menggunakan pihak ke-3 untuk memotong/memungut pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Contohnya adalah pemungutan pajak PPh Pasal 21 (Pajak Penghasilan yang harus dibayar oleh karyawan) oleh Perusahaan/Lembaga/Instansi dimana WP tersebut terdaftar. Dalam hal ini, Perusahaan/Lembaga/Instansi tersebut berkedudukan sebagai pihak ke-3 yang berhak memotong/memungut pajak atas penghasilan yang diterima oleh karyawan, dalam batas-batas tertentu. Sampai sekarang, sistem ini masih digunakan di Indonesia.
3. Self Assesment System
Kebalikan dari office assessment system, sistem ini memberi kepercayaan penuh kepada WP untuk menghitung dan memperhitungkan jumlah pajaknya, sedangkan fungsi Fiskus hanya sebagai penyuluh, pengawas, dan (kadang-kadang) melakukan pemeriksaan. Namun, ketika WP dikemudan hari terbukti melakukan kesalahan, maka ancamannya bisa sampai pidana.
Sistem ini secara meluas telah digunakan di sebagian besar negara, termasuk Indonesia. Keberhasilan sistem ini sangat tergantung kepada kesadaran WP dan law enforcement pemerintah. Di Indonesia, dengan tingkat kesadaran WP yang rendah dan law enforcement yang setengah-setengah, SAS belum banakmemberikan kontribusi yang berarti kepada penerimaan negara dari pajak.
Meski demikian, dari tahun ke tahun, penerimaan pajak terus mengalami peningkatan, seiring dengan meningkatnya law enforcement pemerintah dan gencarnya sosialisasi perpajakan. Sampai dengan tahun 2006, pajak telah menyumbang kurang lebih 75% dari penerimaan negara yang tertuang dalam APBN.
Konsekuensi digunakannya SAS adalah semua laporan pajak yang dilaporkan oleh WP melalui Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) setiap tahun sekali, merupakan pernyataan yang harus dpertanggung jawabkan kebenarannya selama 5 tahun ke depan (daluwarsa pemeriksaan pajak). Dengan kata lain, sanksi/denda/kenaikan jumlah pajak atau malah pidana karena pelanggaran perpajakan bakal menanti, seandainya fiskus mengetahui bahwa SPT yang dilaporkan mengandung kesalahan baik disengaja maupun tidak disengaja.
Bagaimana fiskus mengetahui hal tersebut....? ikuti di episode berikutnya.....!!!
Senin, 24 September 2007
Self Assesment System
Diposting oleh Abunadia di 21.39
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
5 komentar:
Mana lanjutannya pak? Jadi sistem yang ideal seperti apa?
Kalo seperti Indonesia ini..emang self asesment lah yang cocok. jumlah penduduk banyak, sementara jumlah fiskus sangat sedikit. namun, self assesment pun, menurut saya juga banyak kekurangannya...so, ditunggu ya...!
tlg kupas tuntas tentang sistem self assesment, kelebihan dan kekurangan dari sistem tersebut???? and jenis2 dari sistem self assesment itu apa??
Emang sih kalau menggunakan self assesment system di indonesia cukup baik kalau dilihat, tapi kelemahannya masih sangat banyak. mengapa tidak menggunakan office sistem aja, dengan mengubah sistem perhitungan yang lebih cepat dan akurat, pasti rakyat akan lebih mau berpajaka ria.
by. donidh
http://www.donidh.blogspot.com
Sistem Official msh ada kok pak di Indonesia. Yakni di Pajak Daerah yaitu Pajak Bumi dan Bangunan. Yg menetapkan adalah Pemda. Sekedar menambahkan, hehehe
Posting Komentar