Sabtu, 06 Oktober 2007

Hari Raya...Pilih Yang Mana....?

Ba’da reformasi tahun 1997, Umat Islam Indonesia sering dihadapkan kepada masalah baru yang selalu berulang setiap tahun, yaitu adanya dua versi hari raya iedul fitri. Banyak yang menyebutnya dengan hari raya versi MU dan versi NU (bukan nama tim sepak bola liga Inggris lho!), sedangkan Pemerintah, biasanya mengamini salah satu dari dua versi tersebut, melalui sebuah mekanisme sidang isbat yang konon melibatkan seluruh ormas Islam.
Nah…bagi kita yang merasa menjadi orang awam (smoga tidak selamanya jadi orang awam), tentu akan sedikit bingung atau minimal ada keraguan dalam memilihnya…eiit…jangan dulu


Keraguan itu disebabkan karena kejauhan kita dari sumber ilmu. Kecuali jika kita sudah yakin dengan MU atau NU, apalagi yang sudah punya semboyan…”pejah gesang ndherek MU atau NU”, tentu tidak akan bingung-bingung lagi. Padahal sikap seperti ini, dilarang dalam agama. Artinya, kita ada kewajiban untuk berusaha sekuat tenaga, mengetahui apa sich masalah yang sebenarnya terjadi.
Orang awam, tentunya akan bertanya: mengapa jauh-jauh hari, salah satu pihak sudah mengumumkan keberbedaan tersebut, toh pelaksanaannya juga masih lama (nilai relevansinya sangat kecil). Udah gitu, media kita selalu memblow-up berita-berita kayak gini dengan besar-besaran. Akibatnya, hamper tiap tahun ada perasaan malu campur haru (he..he..) atas kejadian seperti ini.
Berikut ini, fatwa dari Lajnah Da’imah (Saudi Arabia), berkenaan dengan masalah kita ini:

Rabu, 2 Nopember 2005 06:28:32 WIB
SERING TERJADI PERSELISIHAN AWAL RAMADHAN, HARI RAYA IEDUL FITHRI DAN IEDUL ADHA, BAGAIMANA CARA MENYATUKAN HARI RAYA KAUM MUSLIMIN ?

Oleh
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta.

Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta ditanya : Bagaimana pendapat Islam tentang perselisihan hari raya kaum muslimin, yaitu Idul Fithri dan Iedul Adha ? Perlu diketahui, hal ini dapat menyebabkan berpuasa pada hari yang diharamkan berpuasa, yaitu hari raya Iedul Fithri atau berbuka pada hari diwajibkan berpuasa? Kami mengharapkan jawaban tuntas tentang permasalahan yang penting ini, yang dapat kami jadikan alasan di hadapan Allah. Jika terjadi perselisihan, kemungkinan bisa dua hari, (atau) kemungkinan tiga hari. Seandainya Islam menolak perselisihan, bagaimana jalan yang benar untuk menyatukan hari raya kaum Muslimin ?

Jawaban
Para ulama sepakat bahwa Mathla’ Hilal berbeda-beda. Dan hal itu diketahui dengan panca indera dan akal. Akan tetapi mereka berselisih dalam memberlakukan atau tidaknya dalam memulai puasa Ramadhan dan mengakhirinya. Ada dua pendapat :

Pertama.
Diantara imam fiqih berpendapat, bahwa berbedanya Mathla berlaku dalam menentukan permulaan puasa dan penghabisannya.

Kedua.
Diantara mereka tidak memberlakukannya, dan setiap kelompok berdalil dengan Kitab, Sunnah serta Qias

Dan kadang-kadang, kedua kelompok berdalil dengan satu nash, karena ada persamaan dalam beristidlal (berdalil), seperti firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Barangsiapa diantara kalian yang menyaksikan bulan, maka berpuasalah” [Al-Baqarah : 185]

FirmanNya.

“Artinya :Mereka bertanya tentang hilal. Katakanlah : Sesungguhnya ia adalah penentu waktu bagi manusia” [Al-Baqarah : 189]

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Berpuasalah kalian dengan melihatnya, dan berbukalah dengan melihatnya”

Itu semua karena perbedaan mereka dalam memahami nash dalam mengambil istidlal dengannya.

Kesimpulannya.
Permasalahan yang ditanyakan masuk ke dalam wilayah ijtihad. Oleh karenanya, para ulama -baik yang terdahulu maupun yang sekarang- telah berselisih. Dan tidak mengapa, bagi penduduk negeri manapun, jika tidak melihat hilal pada malam ketiga puluh untuk mengambil hilal yang bukan mathla mereka, jika kiranya mereka benar-benar telah melihatnya.

Jika sesama mereka berselisih juga, maka hendaklah mereka mengambil keputusan pemerintah negaranya –jika seandainya pemerintah mereka Muslim. Karena, keputusannya dengan mengambil salah satu dari dua pendapat, akan mengangkat perselisihan. Dalam hal ini umat wajib mengamalkannya. Dan jika pemerintahannya tidak muslim, maka mereka mengambil pendapat Majlis Islamic Center yanga ada di Negara mereka, untuk menjaga persatuan dalam berpuasa Ramadhan dan shalat ‘Ied.

Semoga Allah memberi taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi, keluarga dan para sahabatnya.

Tertanda
Wakil Ketua : Abdur Razzaq Afifi
Anngota ; Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Mani

[Fatawa Ramadhan 1/117]
So, kalau sudah membaca Fatwa Ulama di atas, kenapa bingung-bingung? Ingat: Ibadah tidak akan bisa berdiri di atas keragu-raguan. Oh ya, Tambahan dari saya, tidak ada seorangulama pun yang menggolongkan Indonesia sebagai negara kufar, meski tidak berhukum dengan hukum Islam. Indonesia adalah negara dengan penduduk yang beragama Islam terbesar di Dunia (katanya). Jadi Indonesia adalah negerinya orang-orang Islam (baca: negara islam). Jadi, kapan kita akan berhari raya...???...sudah terjawab bukan...!


2 komentar:

swijanarko mengatakan...

saya mah ikut amirul mukminin aja bos. maklum kita kan awam...
apalagi amirul mukminin.., wah ini juga saya kutip dari salah seorang teman saya, lagi2 karena awam.., he..he..

E-IMAN-S mengatakan...

Kalau aku pribadi, untuk hari raya sesuai keputusan pemerintah, kan pemerintah sebelum memutuskan kapan hari raya mengadakan pertemuan dengan organisasi islam besar di Indonesia (termasuk NU dan Muhammadiyah) so seharusnya kita tunduk pada putusan pemerintah. Kalau tidak salah ada fatwa MUI tahun 2003 yang mengatakan jika ada perbedaan hari raya, sebaiknya mengikuti pengumuman pemerintah (mohon koreksinya jika salah.